FAKTA.WEB.ID - Pada dini hari yang lengang di Jumat, 11 Juli 2025, deru kendaraan di ruas Jalan Trans Sulawesi, Desa Wonggahu, Kecamatan Paguyaman, terdengar biasa saja. Jalanan yang biasanya dipadati kendaraan siang hari itu berubah sunyi, menjadi bentangan hitam yang tampak aman namun ternyata menjerat maut. Di situlah, pada pagi buta itu, sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa seorang pemuda bernama Ahmad Domili, warga Desa Padengo, Kecamatan Limboto Barat.
Ahmad, yang kala itu tengah mengendarai sepeda motor Honda Sonic, bertabrakan dengan sebuah mobil pick up Daihatsu Grand Max yang dikemudikan Regi Dasinsingon, seorang pria berusia 38 tahun asal Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Dari luar, peristiwa ini mungkin hanya terlihat sebagai satu lagi angka di statistik kecelakaan lalu lintas. Namun jika kita menyelami lebih dalam, ada begitu banyak sisi kemanusiaan, peringatan, dan pelajaran yang bisa kita petik dari tragedi ini.
Ahmad dan Jalan Sunyi yang Menyesatkan
Siapa Ahmad Domili? Bagi sebagian besar masyarakat yang hanya membaca berita, ia hanyalah korban kecelakaan. Namun di balik namanya yang kini tercatat sebagai jenazah di ruang pemulasaran RSUD dr. Iwan Bokings, ia adalah anak, mungkin saudara, teman, atau bahkan seorang ayah. Meninggalnya Ahmad bukan hanya membuat duka di lingkungan keluarganya, tapi juga menjadi alarm keras bagi seluruh pengguna jalan—terutama mereka yang merasa "lebih aman" saat berkendara di waktu-waktu sepi.
Menurut laporan polisi, kondisi jalan saat kejadian sangat sepi. Dini hari memang selalu memberi kesan jalanan ‘milik pribadi’. Tidak ada klakson, tidak ada kemacetan, hanya lampu-lampu jalan yang kadang tak menyala sempurna. Di saat seperti itulah, banyak pengendara menjadi lengah. Mereka mengira sepinya lalu lintas berarti tidak ada bahaya. Padahal, sebaliknya. Kesepian jalan sering kali menyamarkan bahaya dan menciptakan ilusi keamanan.
Kapolsek Paguyaman, Iptu Juwari, bahkan menyampaikan bahwa rasa terlalu percaya diri kerap menjadi penyebab utama kecelakaan di waktu-waktu semacam ini. "Banyak pengendara justru merasa terlalu percaya diri saat jalanan sepi. Padahal risiko kecelakaan tetap tinggi," katanya. Dan Ahmad menjadi korban dari ilusi itu.
Ketika Kelalaian Mengganti Takdir
Satu hal yang masih dalam proses pendalaman oleh Satlantas Polres Boalemo adalah apakah ada unsur kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua pengemudi. Pemeriksaan terhadap sopir pick up, Regi Dasinsingon, masih berlangsung secara intensif. Sementara itu, olah tempat kejadian perkara menunjukkan bahwa kerusakan parah dialami sepeda motor Ahmad di bagian depan. Sedangkan pick up hanya lecet ringan di bempernya.
Fakta ini bisa menyiratkan banyak hal: kecepatan yang tinggi, posisi benturan, atau bahkan kemungkinan pelanggaran marka jalan. Namun, satu hal yang pasti—ada yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya malam itu. Entah itu soal lampu kendaraan, jarak pandang, atau sekadar kehilangan fokus selama sepersekian detik.
Sering kali kita menganggap kecelakaan sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja. Tetapi dalam dunia lalu lintas, hampir tak ada yang benar-benar terjadi "tiba-tiba". Sebagian besar kecelakaan merupakan hasil dari akumulasi kelalaian kecil yang tidak dicegah sejak awal. Entah itu menunda servis rem, merasa cukup tidur padahal tidak, atau mengambil risiko untuk melaju kencang karena merasa jalanan "aman".
Keluarga dan Duka yang Tak Tertuliskan
Jenazah Ahmad dipulangkan dan dimakamkan di hari yang sama. Kita bisa membayangkan betapa tiba-tibanya kabar duka itu datang bagi keluarganya. Mungkin malam sebelumnya, Ahmad masih sempat berpamitan untuk keluar. Atau bisa jadi ia berjanji pulang sebelum subuh. Namun, takdir berkata lain.
Pihak keluarga menyampaikan harapan yang sederhana namun bermakna: agar polisi menuntaskan penyelidikan dan membawa kejelasan. Tidak ada tuntutan balas dendam, tidak pula tuntutan kompensasi berlebihan. Mereka hanya ingin kebenaran dan keadilan ditegakkan—agar kejadian ini tidak berulang, agar tidak ada lagi Ahmad-Ahmad lainnya yang gugur di jalanan tanpa makna.
Dalam kasus semacam ini, suara keluarga sering terabaikan dalam bisingnya prosedur hukum dan laporan media. Padahal, merekalah yang menanggung luka paling dalam. Kesedihan mereka tidak bisa diredakan oleh sekadar keterangan "masih diselidiki".
Infrastruktur dan Keselamatan Jalan yang Harus Dievaluasi
Kasus ini juga harus menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk mengevaluasi infrastruktur jalan, terutama pada jalur-jalur rawan seperti Jalan Trans Sulawesi. Seberapa terang penerangan jalan di titik kejadian? Apakah marka jalan masih terlihat jelas? Apakah ada kamera pengawas, rambu kecepatan, atau pos pantau yang bisa mencegah kejadian serupa?
Sayangnya, di banyak wilayah Indonesia, terutama luar Jawa, perhatian terhadap standar keselamatan jalan masih sangat minim. Jalanan dibiarkan rusak, penerangan minim, dan rambu lalu lintas tidak terawat. Padahal, jalan bukan hanya tempat kendaraan melintas. Ia adalah ruang publik yang harus dijaga keselamatannya seperti halnya sekolah, rumah sakit, atau tempat ibadah.
Jika infrastruktur jalan tak dibenahi, maka bahkan pengendara yang paling berhati-hati pun tetap berada dalam bahaya. Dan jika kesadaran berlalu lintas masyarakat tidak ditingkatkan, maka tragedi demi tragedi akan terus menghiasi berita harian.
Jalan Sunyi Bukan Alasan untuk Hilang Kewaspadaan
Kecelakaan ini menyadarkan kita bahwa tak peduli seberapa sunyi jalan, kewaspadaan tetap harus dijaga. Berkendara bukan hanya soal kemampuan mengemudi, tapi juga soal tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Kita bukan hanya mengendarai kendaraan—kita sedang mengendarai harapan keluarga, waktu orang lain, dan kemungkinan hidup atau mati seseorang.
Sebagai masyarakat, kita juga punya peran. Tidak ada salahnya menyebarkan kampanye keselamatan berkendara di media sosial, memberi contoh kepada anak-anak kita tentang cara menyebrang yang benar, atau sekadar mengingatkan teman kita yang suka ngebut malam-malam. Kita tidak harus menjadi polisi lalu lintas untuk membuat jalanan lebih aman.
Dan bagi pihak kepolisian, kasus seperti ini bukan hanya soal menuntaskan penyelidikan. Ini adalah peluang untuk membangun edukasi publik yang kuat, memasang lebih banyak imbauan di titik-titik rawan, dan melakukan patroli malam untuk mengurangi risiko kecelakaan.
Tragedi di Paguyaman ini adalah cermin. Ia mencerminkan bagaimana satu momen, satu jalanan yang sepi, bisa mengubah hidup begitu banyak orang. Dari seorang pemuda yang kini hanya tinggal nama, dari keluarga yang menunggu kepulangan tanpa tahu itu akan jadi perpisahan terakhir, hingga aparat yang harus berpacu dengan waktu untuk menemukan kebenaran di balik tabrakan dini hari itu.
Kita bisa menyalahkan jalan, kita bisa menyalahkan pengemudi, kita bisa menyalahkan nasib. Tapi yang paling penting adalah: apa yang bisa kita ubah setelah ini?
Apakah kita akan tetap menganggap sepi jalan sebagai waktu untuk melaju lebih kencang? Atau justru menganggapnya sebagai pengingat bahwa maut bisa datang kapan saja, bahkan tanpa suara?
Kita tidak bisa menghidupkan kembali Ahmad Domili. Tapi kita bisa menyelamatkan orang berikutnya. Dan itu, barangkali, adalah satu-satunya cara untuk membuat kepergiannya berarti.
Penulis : Petani Booklovers